Sabtu, 24 November 2012

Final softskill psikologi&internet-tugas 8


2.Memainkan Games Online
Bermain Game Online memang seru sampai kita bisa lupa waktu, hampir semua orang menyukai Game Online, dari kalangan anak-anak sampai dewasa sangat digemari Game Online ini. Tapi tahukah kamu bahwa Game Online juga bisa merugikan computer atau laptop kita. Berikut ini Tips Cara Aman Main Game Online , namun Anda harus ingat bahwa banyak ancaman yang menghantui. Berikut 5 kiat aman untuk ngegame di dunia maya yang diramu perusahaan keamanan.

Cara Aman Bermain Game Online

1. Gunakan password untuk akun, jangan terlalu gampang passwordnya pastinya yang sulit tebak oleh orang lain.

2. Lindungi data komputer/laptop maupun cloud kita dengan menggunakan password. Agar aman dari penyelundup.

3. Jangan memakai software hasil dari crack. karena tanpa kita sadari bisa saja software tersebut software jahat atau malicious software.

4. Ketikan URL (game online tujuan) langsung dari browser sobat. Dengan begitu nantinya sobat akan terhindari dari unsur ketidaksengajaan mengklik link online game dari search engine yang telah terinfeksi.

5. Yang terakhir, jangan lupa Gunakan selalu
 antivirus Terbaik yang terupdate secara berkala dan solusi keamanan komputer yang memiliki fitur anti spyware dan firewall.

Manfaat bermain games online :
1.Untuk mengisi waktu senggang
2.Hiburan
3.Tantangan apabila gamesnya seru dan menegangkan
Kerugian bermain games online :
1.Tidak ingat waktu
2.Kecanduan memainkan games itu sendiri
3.Berbahaya juga bagi mata bila berjam jam memainkan games itu 

Final softskill psikologi&internet-tugas 7


Penelitian psikologi internet
a.publikasi online
Merupakan hal yang krusial untuk mengikutsertakan program promosi online ( salah satunya : website ) di dalam keseluruhan program marketing dan promosi perusahaan serta memberikan total support seperti mencantumkan alamat web. Setiap web dianjurkan selalu menganalisa setiap perkembangan /grafik statistik yang terjadi di dalam websitenya, Dianjurkan juga agar alamat web perusahaan Anda dipromosikan melalui search engine ( misalnya Yahoo!, Google, Bing, Altavista, AOL ) sehingga eksistensi serta informasi mengenai perusahaan Anda dapat segera diakses oleh calon konsumen
Sumber : http://nugra.net/number-two-article/
 b.etika dalam penelitian &bantuan internet
Etika komputer adalah seperangkat asas atau nilai yang berkenaan dengan penggunaan komputer. Etika komputer berasal dari 2 suku kata yaitu etika (bahasa Yunani: ethos) adalah adat istiadat atau kebiasaan yang baik dalam individu, kelompok maupun masyarakat dan komputer (bahasa Inggris: to compute) merupakan alat yang digunakan untuk menghitung dan mengolah data. Jumlah interaksi manusia dengan komputer yang terus meningkat dari waktu ke waktu membuat etika komputer menjadi suatu peraturan dasar yang harus dipahami oleh masyarakat luas.
Prinsip-prinsip Etika Penelitian Ilmiah
Etika berasal dari bahasan Yunani ethos. Istilah etika bila ditinjau dari aspek etimologis memiliki makna kebiasaan dan peraturan perilaku yang berlaku dalam masyarakat. Menurut pandangan Sastrapratedja (2004), etika dalam konteks filsafat merupakan refleksi filsafati atas moralitas masyarakat sehingga etika disebut pula sebagai filsafat moral. Etika membantu manusia untuk melihat secara kritis moralitas yang dihayati masyarakat, etika juga membantu kita untuk merumuskan pedoman etis yang lebih adekuat dan norma-norma baru yang dibutuhkan karena adanya perubahan yang dinamis dalam tata kehidupan masyarakat. Sedangkan etika dalam ranah penelitian lebih menunjuk pada prinsip-prinsip etis yang diterapkan dalam kegiatan penelitian.

Peneliti dalam melaksanakan seluruh kegiatan penelitian harus memegang teguh sikap ilmiah (scientific attitude) serta menggunakan prinsip-prinsip etika penelitian. Meskipun intervensi yang dilakukan dalam penelitian tidak memiliki risiko yang dapat merugikan atau membahayakan subyek penelitian, namun peneliti perlu mempertimbangkan aspek sosioetika dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan (Jacob, 2004).
Etika penelitian memiliki berbagai macam prinsip, namun terdapat empat prinsip utama yang perlu dipahami oleh pembaca, yaitu: menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity), menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy and confidentiality), keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness), dan memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits) (Milton, 1999; Loiselle, Profetto-McGrath, Polit & Beck, 2004). Prinsip pertama, peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subyek untuk mendapatkan informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian (autonomy). Beberapa tindakan yang terkait dengan prinsip menghormati harkat dan martabat manusia, adalah: peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subyek (informed consent) yang terdiri dari: (1) penjelasan manfaat penelitian; (2) penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang dapat ditimbulkan; (3) penjelasan manfaat yang akan didapatkan; (4) persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan subyek berkaitan dengan prosedur penelitian; (5) persetujuan subyek dapat mengundurkan diri kapan saja; dan (6) jaminan anonimitas dan kerahasiaan. Namun kadangkala, formulir persetujuan subyek tidak cukup memberikan proteksi bagi subyek itu sendiri terutama untuk penelitian-penelitian klinik karena terdapat perbedaan pengetahuan dan otoritas antara peneliti dengan subyek (Sumathipala & Siribaddana, 2004). Kelemahan tersebut dapat diantisipasi dengan adanya prosedur penelitian (Syse, 2000).Prinsip kedua, setiap manusia memiliki hak-hak dasar individu termasuk privasi dan kebebasan individu. Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat terbukanya informasi individu termasuk informasi yang bersifat pribadi. Sedangkan, tidak semua orang menginginkan informasinya diketahui oleh orang lain, sehingga peneliti perlu memperhatikan hak-hak dasar individu tersebut. Dalam aplikasinya, peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas baik nama maupun alamat asal subyek dalam kuesioner dan alat ukur apapun untuk menjaga anonimitas dan kerahasiaan identitas subyek. Peneliti dapat menggunakan koding (inisial atau identification number) sebagai pengganti identitas responden.Prinsip ketiga, prinsip keadilan memiliki konotasi keterbukaan dan adil. Untuk memenuhi prinsip keterbukaan, penelitian dilakukan secara jujur, hati-hati, profesional, berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-faktor ketepatan, keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis serta perasaan religius subyek penelitian. Lingkungan penelitian dikondisikan agar memenuhi prinsip keterbukaan yaitu kejelasan prosedur penelitian. Keadilan memiliki bermacam-macam teori, namun yang terpenting adalah bagaimanakah keuntungan dan beban harus didistribusikan di antara anggota kelompok masyarakat. Prinsip keadilan menekankan sejauh mana kebijakan penelitian membagikan keuntungan dan beban secara merata atau menurut kebutuhan, kemampuan, kontribusi dan pilihan bebas masyarakat. Sebagai contoh dalam prosedur penelitian, peneliti mempertimbangkan aspek keadilan gender dan hak subyek untuk mendapatkan perlakuan yang sama baik sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi dalam penelitian.Prinsip keempat, peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian guna mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi subyek penelitian dan dapat dijeneralisasikan di tingkat populasi (beneficence). Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek (nonmaleficence). Apabila intervensi penelitian berpotensi mengakibatkan cedera atau stres tambahan maka subyek dikeluarkan dari kegiatan penelitian untuk mencegah terjadinya cedera, kesakitan, stres, maupun kematian subyek penelitian.
Referensi:
Jacob, T. 2004. Etika Penelitian Ilmiah. Warta Penelitian Universitas Gadjah Mada (Edisi Khusus), 60-63. Loiselle, C.G., Profetto-McGrath, J., Polit, D.F., & Beck, C.T. 2004. Canadian Essentials of Nursing Research. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Milton, C.L. 1999. Ethical Issues From Nursing Theoretical Perspectives. Nursing Science Quarterly, 12(1): 20-25.
Sastrapratedja, M. 2004. Landasan Moral Etika Penelitian. Warta Penelitian Universitas Gadjah Mada (Edisi Khusus), 50-59.
Sumathipala, A. & Siribaddana, S. 2004. Revisiting “Freely Given Informed Consent” in Relation to the Developing World: Role of an Ombudsman. The American Journal of Bioethics, 4(3): W1–W7.
Syse, A. 2000. Norway: Valid (as oppose to informed) consent. The Lancet 356:1347–1348.
 Rangkuman jurnal
   Komputer dan Internet Mengubah Ingatan Manusia
Komputer dan internet mengubah sifat ingatan manusia, demikian kesimpulan penelitian yang dimuat di majalah Science. Penelitian psikologi menunjukkan bahwa jika seseorang diajukan pertanyaan-pertanyaan sulit, mereka akan memikirkan komputer.
Ketika mereka mengetahui bahwa berbagai fakta nantinya akan didapat lewat komputer maka ingatan mereka menjadi tidak begitu baik karena mereka mengetahui dapat mengandalkan sumber lain.
Para peneliti mengatakan internet bertindak sebagai "ingatan transaktif". Penulis laporan Betsy Sparrow dari Universitas Columbia mengatakan ingatan transaktif "adalah ide adanya sumber ingatan luar-tempat penyimpanan di pihak lain". "Ada ahli-ahli hal tertentu dan kita membiarkan mereka bertanggung jawab atas informasi tersebut," katanya.
Penulis lain laporan Daniel Wegner, yang pertama kali mengusulkan konsep ingatan transaktif dalam bab sebuah buku berjudul Ketergantungan Kognitif pada Hubungan Dekat, menemukan pasangan yang sudah lama hidup bersama saling membantu saat mengingat sesuatu.
"Saya berpikir internet menjadi sebuah bentuk ingatan transaktif dan saya ingin mengujinya," kata Dr Sparrow.
Di mana, bukan apa
Bagian pertama pengkajian adalah menguji apakah peserta penelitian "langsung" memikirkan komputer dan internet begitu diajukan pertanyaan sulit. Tim menggunakan tes Stroop yang dimodifikasi.
Tes Stroop standar mengukur berapa lama waktu yang diperlukan partisipan untuk membaca sebuah kata warna sementara kata tersebut berbeda warna, misalnya kata "hijau" ditulis dengan warna biru. Waktu reaksi meningkat ketika, bukannya kata warna, para partisipan ditanyakan untuk membaca kata-kata tentang topik yang kemungkinan sudah ada dalam pikiran. Dengan cara ini tim peneliti menunjukkan bahwa, setelah diberikan topik dengan jawaban ya/tidak, waktu reaksi terhadap istilah yang terkait dengan internet sangat lebih lama. Ini adalah sebuah isyarat partisipan tidak mengetahui jawaban, dan mereka sudah mempertimbangkan untuk menjawab dengan menggunakan komputer.
Dalam percobaan lebih mendalam para peserta penelitian diberikan serangkaian fakta. Setengahnya diminta menyimpannya pada sejumlah folder di komputer, setengahnya diberitahu bahwa fakta-fakta tersebut akan dihapus. Ketika diminta untuk mengingat fakta tadi, kelompok yang mengetahui informasi tidak akan didapat lagi menunjukkan kinerja yang sangat lebih baik dibandingkan kelompok yang menyimpan fakta dalam berkas di komputer.
Tetapi kelompok yang mengharapkan informasi tersebut akan didapat nantinya, sangat bagus ingatannya dalam mengingat folder tempat penyimpanan informasi. "Ini mengisyaratkan bahwa dalam kaitan dengan berbagai hal yang bisa kita dapatkan di internet, kita cenderung menempatkan ingatan online kita cenderung menyimpannya di luar," kata Dr Sparrow.
Dia mengatakan kecenderungan partisipan untuk mengingat lokasi informasi, bukannya informasi itu sendiri, merupakan isyarat orang semakin tidak bisa mengingat sesuatu, mereka hanya mengatur penempatan informasi dalam jumlah besar agar nantinya mudah didapat.
"Saya tidak menganggap Google membuat kita bodoh, kita hanya mengubah cara mengingat. Jika kita bisa mendapatkannya di internet meskipun sedang berjalan-jalan, maka ketrampilan yang diperlukan, yang perlu diingat adalah ke mana harus mendapatkan informasi. Sama seperti dalam kaitannya dengan orang, ketrampilan yang diperlukan adalah mengingat siapa yang perlu ditemui (untuk mengetahui hal tertentu)," katanya.

Sabtu, 03 November 2012

Tugas minggu 6


Istilah Computer Supported Cooperative Work (CSCW) pertama kali digunakan oleh Irene Greif dan Paul M. Cashman pada tahun 1984, pada sebuah workshop yang dihadiri oleh mereka yang tertarik dalam menggunakan teknologi untuk memudahkan pekerjaan mereka.Pada kesempatan yang sama pada tahun 1987 , Menurut , CSCW mengangkat isu seputar bagaimana aktivitas-aktivitas kolaboratif dan koordinasi didalamnya dapat didukung teknologi komputer.
Beberapa orang menyamakan CSCW dengan groupware , namun yang lain mengatakan bahwa groupware merujuk kepada wujud nyata dari sistem berbasis komputer, sedangkan CSCW berfokus pada studi mengenai kakas dan teknik dari groupware itu sendiri, termasuk didalamnya efek yang timbul baik secara psikologi maupun sosial. Definisi yang diajukan mempertegas perbedaan di antara dua konsep ini:
CSCW adalah sebuah istilah generik, yang menggabungkan pengertian bagaimana orang bekerja dalam sebuah kelompok dengan teknologi pendukung berupa jaringan komputer, Perangkat keras, Perangkat lunak, terkait layanan, dan teknik.
      Computer supported cooperative work, also referred to simply as CSCW, is a term used to describe a collaborative working environment. While such involves the use of collaborative software, computer supported cooperative work actually seeks to describe the sociological and psychological impact of sharing work responsibilities electronically in addition to the human-computer interaction that must take place in such an environment. Employees participating in CSCW may do so at a shared physical location or workers may engage in such activities remotely.
Frequently referred to as e-work, computer supported cooperative work enables employees to collaborate on work-related tasks via shared computer networks, software and processes that offer real-time updates, edits and information. Workers are also able to interact with one another through group meetings and may maintain a constant connection to one another while working, whether they are in the same location or working at opposite ends of the globe. Technological advances, such as teleconferencing software, real-time chat platforms and other shared software products known as groupware can seamlessly support these efforts.

       While many people summarize the concept of a computer supported cooperative workenvironment as simply utilizing groupware, individuals who study such environments assert that the true definition of a CSCW situation involves much more. By observing group workenvironments that use a collaborative innovative network, researchers also observe the sociological and psychological impact these environments have on individual workers. In particular, researchers are interested in how such cooperative work environments help foster or hinder personal interactions among employees. How employees communicate with others via tools such as an electronic meeting system or chat software as opposed to how the same employees would interact in person is also of interest to researchers.
In addition to the social and psychological observances of a computer supported cooperativework environment, researchers and employers are also interested in how such environments tend to impact productivity and output. This is of particular curiosity since workers who engage in CSCW often do so from home and satellite locations. Such has also prompted a rise in off-site working centers that are designed specifically for telecommuting and location independent workers. In many instances, improvements in productivity that may be related to CSCW have been noted. As the technology used in computer supportive cooperative worksituations continues to improve, many expect the number of telecommutingemployees and independent work locations to do the same.
     Computer Supported Cooperative Work (CSCW) is a community of behavioral researchers and system builders at the intersection of collaborative behaviors and technology. The collaboration can involve a few individuals or a team, it can be within or between organizations, or it can involve an online community that spans the globe. CSCW addresses how different technologies facilitate, impair, or simply change collaborative activities.
The CSCW community revolves around a journal and two conference series, one typically held in North America and one in Europe. Books and academic courses followed, and relevant papers appear in other conferences as well. Pointers to these resources conclude this chapter.
1.Grudin, J. (1994). "Computer-Supported Cooperative Work: Its History and Participation". Computer 27
2. Wilson, P. (1991). Computer Supported Cooperative Work: An Introduction. Kluwer Academic Pub.
3. Baecker, R.M. (1995). Readings in human-computer interaction: toward the year 2000. Morgan Kaufmann Publishers.

4.Grudin, Jonathan (1994): Computer-Supported Cooperative Work: History and Focus. In IEEE Computer,
     5.Grudin, Jonathan and Poltrock, Steven (2003): Computer-supported cooperative work and groupware. In:Zelkowitz, Marvin (ed.). "Advances in Computers". Academic Press
6.CollabTech International Conference on Collaboration Technologies, held annually in Asia
Collabtech 2011: 
7. IEEE CollaborateCom International Conference on Collaborative Computing
CollaborateCom 2011: 
8. Collaborative Technologies and Systems
CTS 2011: 
9.   http://www.springer.com/computer/journal/10606
10. http://www.springer.com/computer/series/28612.^Carstensen, P.H. (1999). Diakses pada 3 Agustus 2007.