Selasa, 10 Januari 2012

tulisan 10


KEGELISAHAN TERHADAP HIV/AIDS

         Bergaul dengan pekerja seks komersial, kaum homoseksual, dan kelompok-kelompok rentan terinfeksi HIV/AIDS lainnya tak membuat Bagus Rahmat Prabowo ”gentar”. Kegelisahan semakin menyebarnya HIV/AIDS membuat Bagus tak pernah bosan, apalagi menyerah menggeluti isu HIV/AIDS.

Sejak duduk di bangku kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Bandung, Bagus memang sudah aktif mendedikasikan diri sebagai relawan, terutama untuk masalah kesehatan reproduksi. Bersama teman-temannya sesama mahasiswa kedokteran, Bagus kerap memberi ceramah di SMA-SMA di Bandung untuk menyosialisasikan kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Aktivitas itu dilakoninya selama lima tahun hingga dia meraih gelar dokter.

Setelah bergelar dokter, Bagus mendapat tawaran mengelola klinik Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di kawasan ”lampu merah” Saritem, Bandung (tahun 1995-2000-an). Tugasnya mencari tahu angka prevalensi Infeksi Menular Seksual (IMS) di Bandung. ”Saat itu di Saritem ada 400 pekerja seks komersial (PSK). Kalau satu PSK punya pelanggan lima saja, bayangkan berapa banyak orang yang berpotensi terinfeksi,” kata Bagus.

Di klinik itu, awalnya Bagus lebih banyak berhubungan dengan PSK. Dia rela mengetuk setiap pintu di lokalisasi tersebut untuk memperkenalkan sekaligus mengajak para PSK ”masuk” klinik. Bukan hal mudah. Penolakan dan cibiran kerap datang padanya. Beruntung, dia banyak mendapat bantuan dari petugas rukun tetangga dan rukun warga setempat. ”Tanpa bantuan mereka, saya pasti kesulitan,” ujarnya.

Demi usahanya ”menggaet” para PSK itu, Bagus sampai pernah mendirikan tempat pemeriksaan di tengah lokalisasi. Ini dilakukan agar para PSK tidak merasa dipaksa memeriksakan diri dan masuk klinik. ”Kalau masuk klinik, kan, kesannya sakit,” kata Bagus.

Klinik itu kemudian juga menjangkau kelompok-kelompok rentan IMS, seperti homoseksual dan masyarakat umum. ”Jadi, populasi berisiko kumpul di situ. Akhirnya enggak hanya IMS, tapi juga HIV/AIDS,” terang Bagus.

Pada posisi itu Bagus mendapat tantangan dari orangtuanya. Aktivitasnya yang dekat dengan PSK dan kaum homoseksual dikhawatirkan membuat Bagus dinilai ”cacat moral”. Namun, Bagus teguh. Tekadnya bulat. Kesadaran bahwa HIV/AIDS bukan hanya masalah satu orang, melainkan dapat berimbas pada banyak orang lainnya, membuat dia tak bergeming. ”Akhirnya mereka mengerti,” kata Bagus.

Dukungan besar datang dari sang istri. Meski aktivitas Bagus cukup berisiko, tak pernah ada kata curiga dari sang istri. ”Istri saya justru mungkin adalah istri paling aman di dunia. Bagaimana tidak? Kalau saya macam-macam, kan, gampang sekali ketahuan,” kelakar Bagus. Padahal, bukan hanya sekali dua kali godaan datang. Bagus tetap tak goyah. Tak tebersit keinginan untuk merusak apa yang telah susah payah dibangunnya sejak awal.

Masalah sosial

”Tercebur” menggeluti HIV/AIDS rupanya membuat Bagus sulit mengentaskan diri. Baginya, HIV/AIDS menjadi isu yang makin menantang untuk digeluti. Bagus pun terus menggali ilmu, pengetahuan, dan wawasan baru tentang HIV/AIDS. Tercatat, dia beberapa kali mendedikasikan diri pada lembaga yang secara khusus menangani HIV/AIDS. Salah satunya Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia.

Dari jam terbangnya yang cukup intens menggeluti HIV/AIDS, Bagus mengungkapkan, masalah HIV/AIDS cukup unik. HIV/AIDS, menurut dia, bukan hanya masalah medis. Masalah yang lebih dominan adalah masalah sosial. Dia mencontohkan, kasus pengusiran salah seorang pengidap HIV/AIDS di Jawa Barat yang diusir oleh komunitasnya.

Oleh karena itu, meski latar belakangnya dalam hal penanganan HIV/AIDS cukup komplet, Bagus lebih banyak belajar dari kasus-kasus yang dia temui di lapangan. ”Termasuk kultur daerah setempat,” kata dia. Dalam riwayat pekerjaannya juga tertera bahwa selain kursus-kursus, Bagus pada tahun 2010 juga pernah magang di sebuah lembaga di Sydney, Australia, terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS.

Sayang, menurut Bagus, penanganan HIV/AIDS di Indonesia kerap terhambat minimnya dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. ”Alokasinya lebih banyak ditujukan untuk kelompok berisiko,” katanya. Tak heran bila penanganan HIV/AIDS pun kemudian masih sangat bergantung pada dana asing.

Sadar bahwa persoalan HIV/AIDS tak bisa ditangani seorang diri, Bagus aktif membangun jejaring. Ini dilakukan Bagus di sela tanggung jawab profesi yang dilakukannya. Dia kerap terjun ke lapangan untuk bertemu berbagai kelompok masyarakat. ”Kekuatan utama saya advokasi. Saya bisa mengajak orang melakukan banyak hal,” ungkapnya. Bagus juga sering menjadi pembicara di berbagai kegiatan yang berkaitan dengan isu HIV/AIDS.

Beberapa bulan terakhir, Bagus menginisiasi sebuah gerakan kepedulian bernama Dokter Aksi. Gerakan ini sengaja digagas agar dokter-dokter muda mau berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat luas serta belajar dari lapangan.

”Dasarnya adalah keprihatinan saya pada mahasiswa kedokteran yang saat ini lebih berorientasi pada uang. Biaya kuliah kedokteran memang mahal, tapi bukan berarti kita harus terus mengejar uang,” katanya. Sayang, belum banyak yang tertarik. ”Baru ada empat dokter yang bergabung,” katanya.

Secara pribadi, Bagus juga aktif menulis di blog pribadinya, www.dokterbagus.com. Dia tak hanya menulis soal HIV/AIDS, tetapi juga isu-isu kesehatan masyarakat. ”Kalau isinya hanya soal HIV/AIDS, orang enggak mau baca. Saya menulis banyak sebagai strategi untuk menarik orang membaca sehingga informasi yang ada tersebar makin luas,” katanya.

Seiring dengan perkembangan zaman, Bagus juga aktif berkicau di jejaring sosial Twitter dan Facebook. Dia banyak berbagi informasi tentang isu-isu kesehatan terkini, termasuk HIV/AIDS. Semua ini dilakukan bagus semata-mata untuk menyebarkan ilmu sekaligus membangun kesadaran masyarakat.

”Ini cara saya membangun komunikasi dan jejaring. Melalui media yang saya buat itu, semua bisa bertanya dan berkonsultasi tentang apa saja,” ujarnya.

Cita-cita Bagus sederhana. ”Saya ingin memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia agar menjadi lebih baik,” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar